Rabu, 05 Oktober 2011

ISU RESHUFFLE JILID TIGA


Memasuki dua tahun masa pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid II, paling tidak telah tiga kali isu reshuffle bergulir atau digulirkan. Setiap isu reshuffle bergulir atau digulirkan ada kalanya diiringi oleh isu lainnya. Isu reshuffle menjadi isu penting dan biasanya tidak berdiri sendiri. Bisa merupakan respons terhadap suatu isu, desakkan publik, bisa juga isu untuk pengalihan isu lainnya. Isu reshuffle, yang mestinya untuk perbaikan kinerja kabinet, akhirnya menjadi “lubang politik” tersendiri bagi Presiden SBY yang terlalu hati-hati, akomodatif, dan peragu. Pertama, isu reshuffle telah mulai bergulir atau digulirkan pada saat pemerintahan SBY baru memasuki seratus hari dan menjelang satu tahun masa pemerintahannya. Bahkan, suara-suara reshuffle telah sayup-sayup terdengar hanya beberapa saat saja setelah Presiden SBY mengumumkan susunan kabinetnya.

Isu reshuffle pada saat itu cenderung lebih banyak bergulir atau digulirkan oleh publik, civil society, akademisi atau pengamat yang tidak berafiliasi kepada parpol yang kurang puas, karena melihat komposisi kabinet yang lebih banyak berasal dari orang parpol, bahkan masih menjabat sebagai ketua umum parpol, yang rentan terhadap konflik kepentingan dan dianggap kurang memiliki kompetensi atau profesionalitas. Padahal, Presiden SBY dipilih secara langsung oleh rakyat dan bukan oleh parpol. Malah, menang dalam satu kali putaran. Seharusnya kabinet yang dibentuk adalah kabinet kerja berdasarkan kompetensi atau profesionalitas dan bukan kabinet pelangi yang akomodatif terhadap parpol-parpol. Bagi publik, satu, legitimasi presiden telah sangat kuat, karena dipilih secara langsung oleh rakyat dan menang dalam satu kali putaran.

Dua, orang parpol dianggap kurang memiliki kompetensi atau profesional, karena riwayat pendidikannya yang singkat dan rentan terhadap politisasi birokrasi. Tiga, presiden terlihat terlalu tersandera oleh kepentingan parpol, bahkan terhadap parpol yang kalah sekalipun, seperti Partai Golkar. Isu reshuffle akhirnya menguap seiring dengan meletusnya kasus Bank Century melalui pansus di DPR, Antasari Azhar, Cicak versus Buaya, Susno Duadji, dan Mafia Hukum lainnya yang bergelombang ganti-berganti. Jangankan untuk memenuhi desakkan publik dan perang terbuka terhadap parpol-parpol soal reshuffle, berhadapan dengan kasus-kasus di atas saja telah membuat Presiden SBY “pusing” dan semakin berhati-hati dalam mengambil keputusan. Apalagi kasus-kasus di atas ada kecenderungan juga diarahkan untuk mengkriminalkan kemenangan Partai Demokrat dan mendongkel (impeachment) terhadap sang presiden.

Kedua, isu reshuffle kembali mencuat setelah gagalnya pembentukan pansus pemberantasan mafia pajak di DPR pasca terungkapnya kasus Gayus Tambunan yang mencegangkan publik. Isu reshuffle kali ini, sadar ataupun tidak, bergulir atau digulirkan langsung oleh Presiden SBY melalui konfrensi pers yang penuh dengan kemarahan terhadap parpol koalisi, terutama Partai Golkar dan PKS, yang mbalelo mendukung terbentuknya pansus pemberantasan mafia pajak. Saat itu, isu reshuffle sepertinya telah dipelupuk mata. Bahkan, elite Partai Demokrat, termasuk Ketua Umum Anas Urbaningrum, telah memastikan secara terang-benderang soal reshuffle ini. Partai Golkar dan PKS dianggap telah melanggar kontrak politik dan tidak tahu diri serta tidak tahu cara berterima kasih. Emosi politik merasa dikhianati, begitu memuncak mengalahkan logika politik, bahwa Partai Demokrat membutuhkan dukungan parpol lainnya. Apalagi ketika itu dianggap telah kali kedua setelah pansus Bank Century, Partai Golkar dan PKS, melakukan manuver politik di parlemen, yang memusingkan dan menjadikan Partai Demokrat sebagai sasaran tembak dan bulan-bulanan politik.

Inilah isu reshuffle yang terpanjang, terpanas, dan sangat menguras energi politik tanah air, karena alasannya murni soal politik praktis. Awalnya, direncanakan semua menteri dari Partai Golkar dan PKS akan direshuffle. PDIP dan Partai Gerindra dilobi untuk masuk menggantikan Partai Golkar dan PKS. Bahkan, Partai Gerindra—karena telah berjasa menolak pansus pajak—tanpa basa-basi menyodorkan calon menterinya. PDIP pun hanya tinggal menunggu acc dari Ketua Umum Megawati Soekarnoputri saja. Taufik Kiemas telah setuju, asalkan Puan Maharani masuk sebagai menteri. Tetapi, Megawati tetap kokoh dengan sikap politiknya untuk berada di luar pemerintahan. Gagal menarik PDIP, berarti gagal membuang Partai Golkar. Tetapi, masih ada PKS, karena Partai Gerindra telah acc. Entah kenapa, untuk memberikan “kursi enak” buat Partai Gerindra, SBY terlihat masih berat hati dan masih berpikir-pikir. PKS jelas berkeringat dan sejak awal bersama SBY, sementara Partai Gerindra dan Partai Golkar tidak berkeringat dan menjadi pihak yang kalah dan lawan politik saat pilpres dulu. Sementara itu, “menelan ludah” sendiri saat konfrensi pers yang marah dan terus diulang-ulang media televisi swasta, bukanlah pekerja sederhana buat SBY. Publik pun menjadi pesimis dengan isu reshuffle akan membawa perbaikan, karena kentalnya nuansa politik praktis di dalamnya.

Akhirnya, publik mendesak ketegasan Presiden SBY untuk segera merealisasikan isu reshuffle kabinet atau menghentikan isu itu sama sekali, karena telah kontraproduktif tidak saja di tengah masyarakat, tetapi juga di dalam pemerintahan SBY sendiri. Sebagaimana yang kita ketahui, SBY lebih memilih opsi yang kedua dan isu reshuffle kembali menguap dan hanya menjadi sebatas isu, sampai dengan meletusnya kasus wisma atlet di Kementerian Pemuda dan Olahraga yang menyeret nama para petinggi Partai Demokrat, utamanya mantan Bendahara Umumnya, Muhammad Nazaruddin, yang membuat Presiden SBY dan Partai Demokrat menjadi tak berkutik dan menjadi bulan-bulanan di hadapan media massa dan publik.

Ketiga, isu reshuffle kabinet kembali mencuat melalui Staf Khusus presiden, Daniel Sparingga, dan menteri Sekretaris Negara, Sudi Silalahi, belum lama ini. Sayangnya, isu reshuffle ini mencuat setelah publik mulai lelah dengan kasus Nazaruddin dan kasus korupsi lainnya. Selain itu, juga mencuat di saat tingkat kepuasaan atau kepercayaan publik terhadap pemerintahan SBY dan Partai Demokrat, termasuk KPK, telah terjun bebas. Karenanya, sangat wajar bila munculnya pesimisme publik dan penilaian bahwa isu reshuffle kali ini hanya sebagai pengalihan isu dan proyek pencitraan sang presiden belaka. Tidak kurang dan tidak lebih. Jika terjadi, berdasarkan apakah reshuffle akan dilakukan? Pertama, apakah akan berdasarkan desakan publik soal kompetensi atau profesionalitas para menteri atas penilaian UKP4? Kedua, apakah akan berdasarkan kalkulasi politik menjelang 2014, proyek pencitraan, atau pengalihan isu belaka? Ketiga, apakah akan berdasarkan masalah yang sedang hangat dibicarakan seperti kasus korupsi yang menjerat beberapa kementerian, kasus kesehatan para menteri yang kurang baik, atau para menteri yang bermasalah secara pribadi, atau tersangkut kasus-kasus moral yang masih harus dibuktikan lebih jauh.

Kalau ketiga alasan ini yang diterapkan, maka besar kemungkinan reshuffle akan terjadi secara besar-besaran dan sesuai dengan arti reshuffle itu sendiri, yakni penyusunan kembali atau kocok ulang. Resikonya pasti tidak kecil. Presiden SBY akan berhadapan dengan parpol-parpol dan publik pun belum tentu akan berada di belakangnya karena tingkat kepercayaan yang telah menurun, apalagi jika menteri-menteri yang direkrut kualitasnya tidak jauh beda dengan menteri sebelumnya. Besar kemungkinan Presiden SBY, tidak akan berani mengambilkan langkah revolusioner ini. Jika berani, maka sudah sejak dulu dilakukannya. Hanya saja, jika mengambil alasan sebagian atau satu-dua saja dari tiga alasan itu, maka reshuffle terjadi hanya sebagian kecil saja dan diprediksi tidak akan signifikan berpengaruh pada kinerja kabinet secara keseluruhan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar