Cinta tak memandang kasta. Kalimat bijak tersebut berlaku
pada pernikahan antara Gusti Raden Ajeng (GRAj) Nurastuti Wijareni atau sering
disapa “Jeng Reni” dan Achmad Ubaidillah atau sering disapa “Ubai”. Jeng Reni
merupakan putri bungsu Raja Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat Sri Sultan
Hamengku Buwono (HB) X, Ubaid merupakan warga baisa dan berstatus pegawai
negeri.
Pernikahan putri kraton dan rakyat biasa tersebut menjadi
magnet moralitas sosial Kraton Yogyakarta. Ini dibuktikan dengan apresiasi dan
simpati warga Kota Gudeg, yang memperlakukan pernikahan tersebut sebagai pesta
budaya rakyat. Maka, prosesi pernikahan Jeng Reni dan Ubaid, dari Minggu Kamis
(16 - 19/10) menyatu dengan pesta rakyat. Malioboro sebagai salah satu poros
penghubung dengan Kraton, akan dipenuhi pesta makanan dan kesenian.
Jeng Reni merupakan putri ke lima dari Sri Sultan HB X dan
GKR Hemas, lahir di Yogyakarta 18 September 1986, alumnus International
Hospitality Management Institute Swiss. Seperti pernikahan kakak-kakaknya,
warga Yogyakarta selalu mengapresiasi dengan penuh sukacita. Banyak pihak
memperkirakan suka cita dari warga terhadap putri bungsu Sultan, melebihi
perhelatan serupa pada putri-putri kraton sebelumnya. Tidak hanya nuansa budaya
yang mengilhami, terselip pesan politik yang samar berkaitan perjuangan warga
Yogyakarta untuk mempertahankan keistimewaan provinsi ini. Karena itu pesta
rakyat di Malioboro tak lepas dari sentuhan komunitas pro-perjuangan Yogya
Istimewa, yang dikoordinasi oleh Sekretariat Bersama Keistimewaan Yogyakarta.
Sang Menantu Sultan, Ubai, lahir di Jakarta pada 26 Oktober
1981. Dia merupakan warga biasa, kedua orangtua asli Lampung, karirnya sebagai
PNS Badan Pertanahan (ayah ubai) dan PNS Kementerian Agama (Ibunda Ubai). Ubai
juga berstatus PNS di Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres) dan menjabat
Kasubid Komunikasi Politik Bidang Media Cetak. Pria berbadan tegap tersebut
alumnus Sekolah Tinggi Pendidikan Dalam Negeri (STPDN) Jatinangor dan master
pemerintahan dari Institut Ilmu Pemerintah (IIP) Jakarta.
Derajat keilmuan keduanya seperti ikut menyatukan antara
darah biru dan warga biasa. Kesetaraan keduanya lebih direkatkan dengan gelar
kebangsaan yang secara otomatis melekat pada keluarga kesultanan. Jeng Reni
menyandang gelar Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Bendara da Ubai menangku gelar
Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Yudanegara. Gelar tersebut berdimensi
militer/keprajuritan kraton. Konon, penetapan gelar memerlukan diskusi selama
sebulan. Adapun prosesi pernikahan putri kraton Yogyakarta tersebut adalah :
16
Oktober : Prosesi Nyantri
17
Oktober : Siraman - Majang - Pasang Tarub
18
Oktober : Ijab - Panggih - Resepsi (NB: Kirab pukul 16.00)
Pesta Keraton dan Rakyat
Perhelatan royal wedding antara Jeng Reni dan Ubai
berlangsung mulai Minggu (16/10). Calon pengantin putra menjadi santri
(nyantri) atau prosesi pengantin pria masuk Kraton Yogyakarta, calon pengantin
putri menjalai tradisi pernikahan kraton seperti sungkem kepada raja/orangtua,
pengajian di Masjid Panepen Kraton Yogyakarta. Masjid tersebut sebagai tempat
ijab qabul.
Senin (17/10), kedua calon mempelai menjalani siraman di
Bangsal Sekar Kedaton, upacara tantingan atau Sri Sultan mewancarai putrinya
tentang kesiapan menikah. Selasa (18/10), kedua calon mempelai melaksanakan
ijab qabul di Masjid Panepen dipimpin Sri Sultan dan pertemuan kedua penganten
yang disaksikan tamu khusus antara lain Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan
Wapres Boediono. Pesta pernikahan dilaksanaan sore hari, dimeriahka dengan
kirab budaya dari Kraton Yogyakarta menuju Bangsal Kepatihan, mempelai naik
kereta kencana diiringi dengan prajurit Kraton Yogyakarta. Kamis, (19/10),
upacara ngabekten dan pamitan. Sri Sultan akan menyampaikan pesan-pesan dan
nasihat kepada menantu dan putrinya di Bangsal Kesatriyan Kraton.
Kirab budaya manjelang pesta pernikahan di Bangsal Kepathan
merupakan perpaduan pesta kraton dan rakyat. Pasangan pengantin akan diarak
dari Kraton Ngayogyakarta menuju perempatan Kantor Pos Besar (Monumen Serangan
Umum 1 Maret), menyusuri Jalan Malioboro. Adik kandung Sri sultan, GBPH
Joyokusumo menyatakan kirab melibatkan lima kereta kuda, tiga di antaranya
kereta tertutup (kaca). Da kereta tertutup dipergunakan oleh orangtua dari
masing-masing pengantin. Sedangkan kedua mempelai akan menggunakan Kereta
Kencana Jongwiyat yang ditarik oleh kuda. Kereta sang pengantin dikawal oleh 12
kuda yang dinaiki para penari Persan Lawung, 12 prajurit keraton (Prajurit
Mantrijeron dan Wibrobrojo) yang melambaikan lambing bendera Gula Kelapa.
Pesta perikahan keraton juga menjadi pesta rakyat.
Sekretariat Bersama Keistimewaan mengoordinasikan pesta rakyat mulai Senin-Rabu
(16-18/10). Ketua Sekber Keistimewaan DIY Widihasto Wasana Putra menyatakan
Kraton tak mungkin menampung semua warga yang ingin menyaksikan pernikahan di
dalam kraton. Sebagai gantinya, warga bisa menonton melalui layar lebar dan
ikut pesta dengan menikmati hidangan gratis. Ratusan penjual angkringan
menyediakan makanan gratis bagi warga yang ikut menyaksikan pernikahan. Pesta
makaan gratis dipusatkan di sekitar Monumen Serangan Oemoem 1 Maret atau di
titik nol. Kemudian pesta seni rayat dari berbagai daerah di Yogyakarta dan
luar kota d Jateng.
Sri Sultan HB X menyatakan pesta pernikaan putrinya bukan
dari dan untk kraton saja. Momen ini jugabagian dari pesta budaya dan pesta
rakyat. Dia menyampaikan terima kasih. "Prosesi pernikahan ini bisa jadi
aktivitas seni budaya. Ini momen kebersamaan dan itulah kekuatan
Yogyakarta," kata Sultan
di
antaranya:
1.
Pada 16 Oktober 2011 berlangsung prosesi Nyantri. Dalam prosesi ini diselipkan
upacara “plangkahan”. GKR Bendara yang bungsu ini musti mendahului kakak
perempuan nomor empat (Sultan dan Ratu Hemas dikaruniai lima anak, semua putri)
yang masih studi di luar negeri. Oleh karena itu harus ada upacara melangkahi
atau plangkahan.
Kejanggalannya: Kata Mbah Dulrohim, yang sehari-hari nyepi
di Parangtritis, dalam sejarah Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, tak boleh ada
anggota kerajaan yang secara terbuka nikah terlebih dahulu dari yang lebih tua
(kakak). Ini terkait soal martabat, dan Kraton sangat menjunjung tinggi
martabat!. Permaklumannya, barangkali ini sudah zaman modern, jadi tak persoalan
bila ada “yang muda” mendahului “yang tua” dalam pernikahan. Tetapi, ini kraton
yang jadi pusat budaya adiluhung, apa iya harus kalah dengan modernisasi?
2.
Pada 18 Oktober 2011, pukul 16.00 wib, berlangsung prosesi kirab
pengantin dari Kraton menuju Kepatihan.
Kejanggalannya: Biasanya kirab itu untuk anak sulung (putra
mahkota) kraton. Wajar jika GKR Pembayun (putri sulung/putri mahkota) dikirab
saat pernikahannya dulu. Namun untuk putri kedua dan putri ketiga, tak ada
kirab saat mereka menikah. Tiba-tiba, putri bungsu ini kok dikirab? Ada apa
ini?. Permaklumannya, barangkali budaya tinggi musti kompromi dengan budaya
pop, sehingga tradisi kraton disisihkan saja. Maka, kirab pun dilangsungkan
demi promosi wisata sekaligus menghibur rakyat Jogja yang berjejalan di
sepanjang Malioboro.
Kejanggalan lain: Rute kirab dari Keraton-Kepatihan, kenapa
bukan Mubeng Beteng? Semua tahu, rute ritual kraton itu ya Mubeng Beteng, bukan
menelusuri Malioboro. Saat GKR Pembayun menikah, kirabnya juga Mubeng Beteng.
Secara historis tradisi Mubeng Beteng berkembang sebelum Mataram-Hindu. Saat
itu disebut muser atau munjer (memusat), berarti mengelilingi pusat. Dalam
konteks ini mengelilingi pusat kerajaan. Sumber lain menyebutkan Mubeng Beteng
justru berawal dari Kerajaan Mataram (Kotagede) saat merampungkan pembangunan
benteng mengelilingi Kraton tepat satu Suro 1580. Prajurit rutin
mengelilingi (mubeng) benteng untuk menjaga Kraton. Dalam perkembangannya tugas
ini dialihkan dari prajurit kepada abdi dalem, dan para abdi dalem itu bertugas
dengan membisu sembari membaca doa-doa di dalam hati agar mereka diberi
keselamatan.
Permaklumannya adalah melihat perkembangan situasi sekaligus
konteks pariwisata. Nah, betul kan demi wisata? Kata panitia, kalau Mubeng
Beteng diterapkan sekarang, itu menyita banyak waktu. Lagi pula ini bukan kirab
tapi miyos dari Keraton ke Kepatihan. Tetapi, kenapa GKR Pembayun bisa Mubeng
Beteng? Toh rute lebih panjang dan rakyat lebih punya tempat lebih leluasa. Ada
rumor, karena ini si bungsu cukuplah rute dikasih saja Kraton-Kepatihan
(Malioboro) yang lebih pendek dan nilai spiritualnya jauh di bawah Mubeng
Beteng!
3.
Pada 18 Oktober 2011, malam, berlangsung resepsi di Kepatihan.
Kejanggalannya: Lho kok di Kepatihan yang nota bene di luar
kompleks keraton? Para sesepuh di Jogja berbisik-bisik, ketiga putri pertama
resepsi di lingkungan keraton, kok yang ini malah di kepatihan (di luar keraton).
Dalam sejarahnya kepatihan itu identik dengan pusat patih (namanya juga
kepatihan ya?). O ya, kepatihan ini berada di Jl Malioboro yang sehari-hari
jadi pusat kantor gubernur. Letaknya nyaris di ujung utara Malioboro. Ada
rumor, karena mempelai pria bukan darah biru, resepsi berlangsung di luar keraton
saja!.Permaklumannya, pihak keraton konon mau menghidupkan kembali tradisi yang
berlangsung pada era Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Saat itu resepsi pernikahan
berlangsung di Kepatihan.Itulah rumor yang beredar di kalangan sesepuh warga
Jogja. Jelas tak muncul di media. Takut kuwalat sama Sultan! Tetapi, ada baiknya
para ahli budaya Jawa maupun pihak Kraton mau membuka diri menjelaskan duduk
persoalannya. Jangan sampai ada rumor di tengah pesta agung ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar