Memasuki
dua tahun masa pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid II,
paling tidak telah tiga kali isu reshuffle bergulir atau digulirkan. Setiap isu
reshuffle bergulir atau digulirkan ada kalanya diiringi oleh isu lainnya. Isu
reshuffle menjadi isu penting dan biasanya tidak berdiri sendiri. Bisa
merupakan respons terhadap suatu isu, desakkan publik, bisa juga isu untuk
pengalihan isu lainnya. Isu reshuffle, yang mestinya untuk perbaikan kinerja kabinet,
akhirnya menjadi “lubang politik” tersendiri bagi Presiden SBY yang terlalu
hati-hati, akomodatif, dan peragu. Pertama, isu reshuffle telah mulai bergulir
atau digulirkan pada saat pemerintahan SBY baru memasuki seratus hari dan
menjelang satu tahun masa pemerintahannya. Bahkan, suara-suara reshuffle telah
sayup-sayup terdengar hanya beberapa saat saja setelah Presiden SBY mengumumkan
susunan kabinetnya.
Isu reshuffle
pada saat itu cenderung lebih banyak bergulir atau digulirkan oleh publik,
civil society, akademisi atau pengamat yang tidak berafiliasi kepada parpol
yang kurang puas, karena melihat komposisi kabinet yang lebih banyak berasal
dari orang parpol, bahkan masih menjabat sebagai ketua umum parpol, yang rentan
terhadap konflik kepentingan dan dianggap kurang memiliki kompetensi atau
profesionalitas. Padahal, Presiden SBY dipilih secara langsung oleh rakyat dan
bukan oleh parpol. Malah, menang dalam satu kali putaran. Seharusnya kabinet
yang dibentuk adalah kabinet kerja berdasarkan kompetensi atau profesionalitas
dan bukan kabinet pelangi yang akomodatif terhadap parpol-parpol. Bagi publik,
satu, legitimasi presiden telah sangat kuat, karena dipilih secara langsung
oleh rakyat dan menang dalam satu kali putaran.
Dua, orang
parpol dianggap kurang memiliki kompetensi atau profesional, karena riwayat
pendidikannya yang singkat dan rentan terhadap politisasi birokrasi. Tiga,
presiden terlihat terlalu tersandera oleh kepentingan parpol, bahkan terhadap
parpol yang kalah sekalipun, seperti Partai Golkar. Isu reshuffle akhirnya
menguap seiring dengan meletusnya kasus Bank Century melalui pansus di DPR,
Antasari Azhar, Cicak versus Buaya, Susno Duadji, dan Mafia Hukum lainnya yang
bergelombang ganti-berganti. Jangankan untuk memenuhi desakkan publik dan
perang terbuka terhadap parpol-parpol soal reshuffle, berhadapan dengan
kasus-kasus di atas saja telah membuat Presiden SBY “pusing” dan semakin
berhati-hati dalam mengambil keputusan. Apalagi kasus-kasus di atas ada
kecenderungan juga diarahkan untuk mengkriminalkan kemenangan Partai Demokrat
dan mendongkel (impeachment) terhadap sang presiden.
Kedua, isu
reshuffle kembali mencuat setelah gagalnya pembentukan pansus pemberantasan
mafia pajak di DPR pasca terungkapnya kasus Gayus Tambunan yang mencegangkan
publik. Isu reshuffle kali ini, sadar ataupun tidak, bergulir atau digulirkan
langsung oleh Presiden SBY melalui konfrensi pers yang penuh dengan kemarahan
terhadap parpol koalisi, terutama Partai Golkar dan PKS, yang mbalelo mendukung
terbentuknya pansus pemberantasan mafia pajak. Saat itu, isu reshuffle
sepertinya telah dipelupuk mata. Bahkan, elite Partai Demokrat, termasuk Ketua
Umum Anas Urbaningrum, telah memastikan secara terang-benderang soal reshuffle
ini. Partai Golkar dan PKS dianggap telah melanggar kontrak politik dan tidak
tahu diri serta tidak tahu cara berterima kasih. Emosi politik merasa
dikhianati, begitu memuncak mengalahkan logika politik, bahwa Partai Demokrat
membutuhkan dukungan parpol lainnya. Apalagi ketika itu dianggap telah kali
kedua setelah pansus Bank Century, Partai Golkar dan PKS, melakukan manuver
politik di parlemen, yang memusingkan dan menjadikan Partai Demokrat sebagai
sasaran tembak dan bulan-bulanan politik.
Inilah isu
reshuffle yang terpanjang, terpanas, dan sangat menguras energi politik tanah
air, karena alasannya murni soal politik praktis. Awalnya, direncanakan semua
menteri dari Partai Golkar dan PKS akan direshuffle. PDIP dan Partai Gerindra
dilobi untuk masuk menggantikan Partai Golkar dan PKS. Bahkan, Partai
Gerindra—karena telah berjasa menolak pansus pajak—tanpa basa-basi menyodorkan
calon menterinya. PDIP pun hanya tinggal menunggu acc dari Ketua Umum Megawati
Soekarnoputri saja. Taufik Kiemas telah setuju, asalkan Puan Maharani masuk
sebagai menteri. Tetapi, Megawati tetap kokoh dengan sikap politiknya untuk
berada di luar pemerintahan. Gagal menarik PDIP, berarti gagal membuang Partai
Golkar. Tetapi, masih ada PKS, karena Partai Gerindra telah acc. Entah kenapa,
untuk memberikan “kursi enak” buat Partai Gerindra, SBY terlihat masih berat
hati dan masih berpikir-pikir. PKS jelas berkeringat dan sejak awal bersama
SBY, sementara Partai Gerindra dan Partai Golkar tidak berkeringat dan menjadi
pihak yang kalah dan lawan politik saat pilpres dulu. Sementara itu, “menelan
ludah” sendiri saat konfrensi pers yang marah dan terus diulang-ulang media
televisi swasta, bukanlah pekerja sederhana buat SBY. Publik pun menjadi
pesimis dengan isu reshuffle akan membawa perbaikan, karena kentalnya nuansa
politik praktis di dalamnya.
Akhirnya,
publik mendesak ketegasan Presiden SBY untuk segera merealisasikan isu
reshuffle kabinet atau menghentikan isu itu sama sekali, karena telah
kontraproduktif tidak saja di tengah masyarakat, tetapi juga di dalam
pemerintahan SBY sendiri. Sebagaimana yang kita ketahui, SBY lebih memilih opsi
yang kedua dan isu reshuffle kembali menguap dan hanya menjadi sebatas isu,
sampai dengan meletusnya kasus wisma atlet di Kementerian Pemuda dan Olahraga
yang menyeret nama para petinggi Partai Demokrat, utamanya mantan Bendahara
Umumnya, Muhammad Nazaruddin, yang membuat Presiden SBY dan Partai Demokrat
menjadi tak berkutik dan menjadi bulan-bulanan di hadapan media massa dan
publik.
Ketiga, isu
reshuffle kabinet kembali mencuat melalui Staf Khusus presiden, Daniel
Sparingga, dan menteri Sekretaris Negara, Sudi Silalahi, belum lama ini.
Sayangnya, isu reshuffle ini mencuat setelah publik mulai lelah dengan kasus
Nazaruddin dan kasus korupsi lainnya. Selain itu, juga mencuat di saat tingkat
kepuasaan atau kepercayaan publik terhadap pemerintahan SBY dan Partai
Demokrat, termasuk KPK, telah terjun bebas. Karenanya, sangat wajar bila
munculnya pesimisme publik dan penilaian bahwa isu reshuffle kali ini hanya
sebagai pengalihan isu dan proyek pencitraan sang presiden belaka. Tidak kurang
dan tidak lebih. Jika terjadi, berdasarkan apakah reshuffle akan dilakukan?
Pertama, apakah akan berdasarkan desakan publik soal kompetensi atau
profesionalitas para menteri atas penilaian UKP4? Kedua, apakah akan berdasarkan
kalkulasi politik menjelang 2014, proyek pencitraan, atau pengalihan isu
belaka? Ketiga, apakah akan berdasarkan masalah yang sedang hangat dibicarakan
seperti kasus korupsi yang menjerat beberapa kementerian, kasus kesehatan para
menteri yang kurang baik, atau para menteri yang bermasalah secara pribadi,
atau tersangkut kasus-kasus moral yang masih harus dibuktikan lebih jauh.
Kalau ketiga
alasan ini yang diterapkan, maka besar kemungkinan reshuffle akan terjadi
secara besar-besaran dan sesuai dengan arti reshuffle itu sendiri, yakni
penyusunan kembali atau kocok ulang. Resikonya pasti tidak kecil. Presiden SBY
akan berhadapan dengan parpol-parpol dan publik pun belum tentu akan berada di
belakangnya karena tingkat kepercayaan yang telah menurun, apalagi jika
menteri-menteri yang direkrut kualitasnya tidak jauh beda dengan menteri
sebelumnya. Besar kemungkinan Presiden SBY, tidak akan berani mengambilkan
langkah revolusioner ini. Jika berani, maka sudah sejak dulu dilakukannya.
Hanya saja, jika mengambil alasan sebagian atau satu-dua saja dari tiga alasan
itu, maka reshuffle terjadi hanya sebagian kecil saja dan diprediksi tidak akan
signifikan berpengaruh pada kinerja kabinet secara keseluruhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar